Mencintai Tidak Harus Memiliki
Renungan dari mimbar, 1 Korintus 13:4-7 & Perpisahan Amos Duha
Malam itu saya berdiri di mimbar, memegang Alkitab, bukan sebagai orang yang sempurna, tapi sebagai seseorang yang sedang belajar percaya pada Firman, bahkan saat hati saya sendiri sedang bergumul.
Tema khotbah yang saya sampaikan adalah: “Mencintai Tidak Harus Memiliki” berdasarkan 1 Korintus 13:4-7.
“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”
Firman yang Mengalahkan Ego
Firman ini saya khotbahkan—bukan dari logika saja, tapi dari tempat yang dalam. Dari hati saya sendiri. Karena sejujurnya, malam itu saya bisa saja mengalirkan khotbah ini dengan perasaan pribadi yang masih belum selesai. Tapi saya memilih tunduk pada kebenaran, bukan pada emosi.
Saya memilih menang atas ego saya sendiri. Saya memilih untuk tidak menjadikan mimbar sebagai tempat meluapkan luka, tetapi sebagai tempat menyatakan kasih sejati menurut Firman.
Kasih Menurut Firman, Bukan Perasaan
Saya berkata dalam hati, “Tuhan, aku bisa sampaikan banyak dari rasa kecewa ini, tapi biarlah yang keluar dari mulutku adalah isi hati-Mu.”
Dan itulah yang saya lakukan. Saya berkhotbah tentang kasih yang tidak mementingkan diri sendiri, tentang cinta yang sabar dan tidak menuntut. Tentang cinta yang, meskipun dalam hati kita ingin menggenggam, tapi justru menunjukkan kasih sejati saat kita melepaskan.
Karena mencintai, dalam pengertian surgawi, tidak harus memiliki.
Perpisahan Sahabat: Amos Duha
Khotbah itu menjadi semakin berat karena malam itu juga adalah malam perpisahan. Teman seperjuangan saya, Amos Duha, akan melanjutkan studinya ke Kalimantan.
Kami berpelukan bukan hanya sebagai sahabat, tapi sebagai saudara dalam Kristus. Waktu kami mungkin akan jauh, tapi hati kami tetap satu dalam pelayanan dan doa.
Melihat dia pergi bukanlah hal yang mudah. Tapi seperti khotbah malam itu—kasih sejati tidak memaksa. Kasih sejati melepaskan. Termasuk sahabat yang kita kasihi.
Saya percaya Tuhan akan memakai Amos luar biasa di tempat baru. Dan kami yang tertinggal, akan terus mendoakan dan tetap melangkah dalam pelayanan di tempat ini.
Menutup dengan Kemenangan Rohani
Ketika khotbah selesai, saya tahu satu hal: malam itu bukan tentang saya. Bukan tentang perasaan yang belum selesai. Tapi tentang Firman Tuhan yang diberitakan dengan taat dan hati yang lurus.
Saya tidak merasa kalah, walau harus mengubur rasa. Karena saya tahu, saya menang di hadapan Tuhan.
Saya berkhotbah malam itu bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai orang yang mau belajar mencintai seperti Kristus mengasihi—tanpa syarat, tanpa pamrih, dan tanpa harus memiliki.

0 Komentar