Melayani Dalam Diam: Cerita Anak Muda Membersihkan Gereja Saat Letnan Sedang Cuti

 

Foto Noverson Halawa 
Akan Membersihkan Halaman Gereja
Bala Keselamatan Korps Onohondro 

Melayani Dalam Diam: Pengalaman Membersihkan Gereja Saat Letnan Sedang Cuti


Beberapa hari yang lalu, saya kembali berada di halaman Gereja Bala Keselamatan Korps Onohondro, berdiri sendirian di bawah terik matahari. Di tangan saya ada sapu dan pengki, bukan karena diperintah, bukan juga karena tugas resmi. Tapi karena hati ini berkata: “Kalau bukan saya, siapa lagi?”

Letnan kami, Letnan Lois, sedang menjalani cuti untuk melangsungkan pernikahan. Sebagai salah satu anak muda di gereja ini, saya merasa terpanggil — meskipun tidak secara langsung diminta — untuk menjaga dan membersihkan rumah Tuhan.


Bukan Karena Hebat, Tapi Karena Cinta


Saya bukan orang hebat. Saya juga kadang lelah. Panas siang itu cukup menyengat, dan saya pun sadar saya sendirian. Tapi saya tetap memilih untuk melayani. Membersihkan gereja bukan hanya soal kebersihan fisik, tapi juga tanda bahwa kita peduli dan menghormati hadirat Tuhan di rumah-Nya.

Saya tidak melakukan ini untuk dilihat orang, bukan untuk dipuji. Bahkan saya tidak berharap siapa pun tahu. Tapi hari itu, saat saya menyapu halaman, ada rasa damai yang sulit dijelaskan. Mungkin karena saya tahu saya sedang melakukan sesuatu bukan untuk manusia, tapi untuk Tuhan.

Pelayanan Tidak Harus Ramai


Kadang kita berpikir pelayanan itu harus besar, harus pakai mikrofon, harus dilihat banyak orang. Tapi hari itu saya belajar: pelayanan juga bisa dilakukan dalam diam. Lewat sapu, lewat tangan yang berkeringat, lewat kaki yang berdiri di atas batu-batu tangga gereja — semua itu juga bentuk ibadah.

Saya sadar saya bukan orang yang paling rohani, paling sempurna, atau paling layak. Tapi Tuhan tidak pernah mencari yang sempurna — Dia mencari yang mau. Dan saya, walau sederhana, saya mau.


Satu Orang, Tapi Tidak Sendirian


Secara fisik saya sendirian. Tidak ada tim kebersihan, tidak ada musik pengiring, hanya suara sapu menggesek lantai dan angin yang berhembus pelan. Tapi saya tahu: saya tidak benar-benar sendiri. Tuhan hadir. Dan itu cukup.

Saat saya berdiri di depan gereja, sambil memegang sapu dan pengki, saya berkata dalam hati:


“Tuhan, meski saya hanya satu orang, biarlah apa yang saya lakukan hari ini menyenangkan hati-Mu.”


Menjadi Pelayan di Tengah Kekosongan


Saya tahu Letnan Lois sedang menjalani momen bahagia dalam hidupnya — dan saya bersukacita untuk itu. Tapi sementara beliau tidak di tempat, saya merasa perlu ada seseorang yang tetap berdiri. Bukan karena saya lebih baik, tapi karena saya tahu bahwa Tuhan tidak pernah berhenti bekerja, jadi saya pun tidak ingin berhenti melayani.

Pelayanan Bukan Soal Kemampuan, Tapi Kerelaan


Saya tidak punya alat hebat. Tidak ada mesin penyedot debu, tidak ada tim bantu. Tapi saya punya niat. Saya punya tangan. Saya punya hati yang mau dipakai. Dan saya percaya, itu saja sudah cukup untuk Tuhan.

Kadang kita terlalu sibuk menunggu waktu yang ideal untuk melayani. Tapi saya belajar hari itu: waktu yang terbaik untuk melayani Tuhan adalah sekarang, di mana pun kita berada.


Posting Komentar

0 Komentar

© 2025 noversonhalawa. All rights reserved.